RENJANA WAKTU
Keywords:
RENJANA WAKTUAbstract
Pertama-tama tak lepas dari puji syukur ku terhadap Tuhan semesta alam, semoga “Sang Guru” yaitu Emha Ainun Nadjib senantiasa di beri kesembuhan dari lelahnya agar bisa ber-muwajahah dengan santrinya dalam kunjungan ruang dan waktu. Seperti yang beliau sampaikan di setiap acara maiyah, yaitu :
“In lam takun a’layya ghadlabun fala ubali’’
Asalkan engkau tidak marah kepada-ku ya Allah,
akan aku terima apapun nasibku di dunia ini
Dalam konteks ini mbah nun berusaha mendidik santri-santrinya agar senantiasa bisa mandiri atau berdikari dalam perihal nasib apapun di dunia ini, karena sejatinya hidup itu kita gantungkan segala urusan diatas kuasa Allah Ta’ala. Seperti khalayaknya kapal yang berlayar menuju tujuan akhirnya yaitu di pelabuhan tempat orang-orang singgah diantara sekumpul rencana-rencana di akhir ceritanya. Kita ini hanya bisa untuk berharap (raja’) terhadap apapun yang menjadi kuasa atas takdir Allah ta’ala. Maka dari itu, sebagaimana ladang yang kosong kita ini hanya sebatas nandur wohing pakerti jadi setiap hasil apapun dalam hidup ini maka kita yang akan menuainya. Tetapi, inti sarinya terletak pada saat kita “nandur” yaitu menanam kebaikan di setiap hal yang kita peroleh dari duniawi agar bisa menjadikan nya bekal untuk urusan ukhrawi “sangu ning akherat”. Atas izin kuasa Allah-pun dari yang baik agar menjadikan nya bijak dan dari yang buruk agar menjadi baik, maka dalam konteks berpikir yang seperti ini kita akan terus tumbuh lalu berkembang dari dunia yang bersifat fana.
Fana yaitu “dapat rusak atau tidak kekal” lantas agar dapat memahami secara mendetail tentang ke-fanaan duniawi, sekali-kali kita ini perlu keluar agar lebih tahu tentang sejauh mana hidup ini mengarahkan kita pada titik tujuan akhirnya yaitu “Kullu nafsin dza ikotil maut”. Dalam konteks “keluar” pada hal tersebut artinya mengkosongkan atau mengasingkan diri “Uzlah” dari kehidupan duniawi agar bisa fokus pada pendekatan diri kepada Allah Ta’ala bukan berarti mengasingkan diri itu meninggalkan segala kewajiban duniawi tetapi, dalam konteks ini kita jadikan Uzlah itu cukup sebagai metode perenungan “berdiam diri” atau I’tikaf entah di masjid, musholla, tempat ibadah maupun pada tempat yang sunyi dari keramaian.
Sebagai mana ke-fanaan duniawi, dalam menghadapi isu tentang ramainya media sosial pun yang notabene nya terdapat berbagai macam informasi entah itu penting ataupun tidak sama sekali, perlunya kita “mengkontemplasikan diri” atau memahami diri sendiri agar lebih baik dengan tujuan menjaga hati dan pikiran dari rusaknya pokok keyakinan kita terhadap manajemen realitas hidup karena maraknya ancaman berita hoax. Lalu dalam merumuskan pertanyaan tentang cara berpikir tersebut, yaitu bagaimana konsistensi kita terhadap kebaikan agar menjadikan nya “habit” atau kebiasaan dalam menghadapi situasi fomo tentang isu di media sosial saat ini?.
Tanyakan kembali kepada diri sendiri, sudah sejauh manakah sebab akibat kita dalam mengatasi segala permasalahan di hidup ini terutama pada ruang lingkup media sosial yang buntutnya akan berimbas pada realita, maka konsepsi dalam islam untuk mengatasi masalah tersebut mengerucut dalam “Tabayyun” atau mencari kebenaran.
“Sebagaimana hidup itu yang Fana kekasih,
kita hanyalah sepotong cerita dari lembaran takdir Tuhan
tentang yang hidup dan menghidupi”
“Kekasih, sejak pagi tak kunjung menyapa hujan
untuk menyambut senja di sore hari aku tak dapat membias
diantara senyum simpulmu itu kasih
karena se-ibu rasa yang pernah kita bangun
terluluh lantakkan oleh badai-badai perjuangan
lalu sisanya hanyalah kenangan
di penghujung penantian”

Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2025 Yayasan Drestanta Pelita Indonesia

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.